|
Add caption |
PENDIDIKAN DI INDONESIA vs INDIA
Ini sebuah perbedaan antara negara yang mau maju dan negara yang ingin rakyatnya buta akan sebuah pendidikan yang seharusnya menjadi hak segala rakyat Indonesia yang kita cintai
TYLLA Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi
- India, tiba-tiba mencuri perhatian. Pertanyaan Tylla kepada
Presiden Yudhoyono konon membuat SBY marah. “Saat berdialog dengan
masyarakat Indonesia di India, ada warga yang sejak mulai bicara sampai
selesai menjelek-jelekkan negeri kita dan memuji luar negeri.
Saya menyesalkan,” kata SBY di Tanah Air.
Apa yang ditanyakan Tylla kepada SBY pada pertemuan 23 November lalu
itu? Berikut petikan perbincangan Tylla dengan Basfin Siregar dari
Gatra:
“Benarkah Anda menjelek-jelekkan bangsa sendiri?”
“Saya tidak terima dibilang menjelek-jelekkan bangsa! Yang
saya jelek-jelekkan itu pemerintah. Saya membandingkan kebijakan
Pemerintah India dengan SBY. Saya lihat Pemerintah India memberi subsidi
gede banget untuk pendidikan. Adalah salah pemerintah kalau pendidikan
di Indonesia makin nggak terjangkau!”
“Berapa uang kuliah Anda di India?”
“Untuk program S-2 dua tahun, saya cuma
bayar US$ 600, sekitar Rp 6 juta. Itu sudah all-in, sudah admission fee
dan tuition fee. Tinggal mikir biaya hidup, dan biaya hidup di Delhi
sama dengan di Jakarta. Uang US$ 600 itu pun karena saya foreigner yang
bayar lebih mahal. Soalnya, duit saya itu dipakai buat subsidi warga
India asli. Kalau orang India yang kuliah, setahun bayarnya cuma 700
rupee, sekitar Rp 40.000.”
“Bagaimana dibandingkan dengan biaya di Indonesia?”
“Tahun lalu, saya mendaftar program notariat. Untuk semester pertama saja habis Rp 50 juta.”
“Anda kaget ketika SBY marah?”
“Sebenarnya SBY marah bukan karena pertanyaan saya. Melainkan karena waktu SBY ngasih penjelasan, eh, saya malah bisik-bisik ke
teman. Saya bilang, ”Ah, SBY mau ngomong apa, nyatanya
anaknya disekolahin ke luar negeri juga. Berarti dia setuju pendidikan
di luar negeri bagus.”
Reaksi SBY bagaimana?
“SBY sepertinya menganggap saya anak yang
kaget. Baru sekali sekolah di luar negeri, kok, sudah sombong banget.
Soalnya, SBY bilang bahwa dia sudah sembilan kali sekolah di luar
negeri, dan pendidikan di Indonesia nggak jelek. Tapi kenyataannya, di
ranking dunia, pendidikan Indonesia kan nggak masuk?”
“Ketika dibentak, reaksi Anda sendiri bagaimana?”
“Saya senyum aja, terus diem nunduk-nunduk,
manggut-manggut minta maaf. Terus saya perhatikan lagi. Tapi saya bisik
ke teman itu cuma beberapa detik aja kok. Sepanjang sebelumnya saya
juga memperhatikan penjelasan SBY.”
“Seperti apa jawaban SBY waktu menjawab pertanyaan Anda?”
“Ya pokoknya pemerintah sudah bekerja, bahwa pendidikan di Indonesia tidak jelek. Pendidikan di luar negeri ada yang bagus, tapi
ada juga yang lebih jelek dibanding di Indonesia. Begitu. Terus
waktu menjawab soal buku-buku murah, SBY bilang kalau pemerintah juga
sudah menyiapkan content (materi) untuk buku-buku SD, bagaimana agar
bisa kepake untuk sekian generasi. Teknis begitu. Itu kan nggak
nyambung dengan apa yang saya sampaikan.”
“Seperti apa subsidi pendidikan di India?”
Di sini, buku murah luar biasa, bahkan
buku-buku impor karena pemerintah memberi subsidi kertas! Selain itu
pemerintah juga bikin
kerja sama dengan penerbit-penerbit gede kayak Penguin Books
agar buku-buku mereka bisa dicetak di India, jadi bisa dijual lebih
murah. Buku-buku kuliah saya, kalau dikonversi ke rupiah, paling mahal
cuma Rp 10.000. Kalau di Indonesia, saya bisa keluar sampai Rp 2,5
juta untuk beli buku saja. Dan karena subsidi kertas itu, harga
langganan koran juga murah. Saya itu langganan satu koran, satu majalah
berita semacam Gatra, dan satu majalah wanita. Nah, untuk langganan
tiga media itu, sebulannya saya cuma bayar 110 rupee, atau sekitar
Rp 22.000. Selain itu di India, pelajar dapat fasilitas kartu
abonemen yang harganya cuma 50 rupee, atau sekitar Rp 10.000, yang
berlaku selama empat bulan. Dengan kartu pas itu, selama empat bulan
kita bisa gratis naik bis pemerintah jurusan apa aja. Mau
keliling-keliling Delhi juga boleh. Meski bisnya bobrok, tapi nyaman.
Berhentinya juga
cuma di halte. Kartu abonemen itu selain untuk pelajar, juga
dikasih untuk pegawai negeri, tentara, orang jompo dan physically
disabled (orang cacat). Itu untuk transportasi.
“Tidak takut dianggap melebih-lebihkan India?”
“Lho, justru karena saya cinta bangsa Indonesia, saya ingin pemerintah belajar kepada India. Orang Indonesia itu pintar-pintar.
Tapi, soalnya, pemerintah tidak bisa memfasilitasi pendidikan
murah. Para insinyur di India mampu bersaing untuk masuk di
Microsoft. Sedangkan di Indonesia hanya beberapa orang saja yang
beruntung. Maka
tolonglah pemerintah bikin agar pendidikan itu affordable.”
Tapi, pendidikan di Indonesia kan ada juga bagusnya?
“Kalau mau jujur, infrastrukturnya lebih
bagus. Di kampus sudah ada lift, whiteboard, pakai OHP. Kalau di sini
enggak. Naik dari lantai I ke lantai IV masih manual, masih pakai kapur
tulis, terus nggak ada AC. Tapi, kalau kualitas content-nya, kita
kurang.”
“Kalau pengajarnya bagaimana?”
Kalau di India enaknya, dosen-dosen itu
bisa dihubungi kapan saja. Kayak Amartya Sen, peraih nobel, kalau
mahasiswanya minta diskusi private session, masih dilayanin. Nggak
susah. Bahkan presidennya sendiri, Abdul Kalam, dia juga mengajar, dan
masih bisa ditelepon! Saya pernah bareng mahasiswanya makan malam bareng
Abdul Kalam. Saya lihat Abdul Kalam itu dikritik mahasiswanya yang
orang India, ditunjuk-tunjuk gitu, dia nggak marah kok. Masih santai
aja.”
“Setelah pertemuan dengan SBY itu, apakah Anda ditegur, misalnya oleh orang KBRI?”
“Ah, nggak. Orang KBRI itu asyik-asyik.
Yang ribut itu justru pegawai negeri (dari Indonesia) yang tugas belajar
ke India. Mereka
pada marah. Dibilangnya saya itu anak itik yang baru keluar
dari induknya, kaget. Padahal saya kan juga bukan baru pertama kali ke
luar negeri. Sebelumnya saya kan juga sempat ikut summer course
atau homestay gitu. Tapi kan nggak kompatibel kalau membandingkan
Indonesia dengan negara-negara maju. Makanya dibandingin dengan
India.” [Teropong, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 19 Desember 2005]
Artikel yang sangat menarik sekaligus miris, semoga pemerintah semakin memperhatikan dunia pendidikan yang ada di indonesia.
TYLLA Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi
- India, tiba-tiba mencuri perhatian. Pertanyaan Tylla kepada
Presiden Yudhoyono konon membuat SBY marah. “Saat berdialog dengan
masyarakat Indonesia di India, ada warga yang sejak mulai bicara sampai
selesai menjelek-jelekkan negeri kita dan memuji luar negeri.
Saya menyesalkan,” kata SBY di Tanah Air.
Apa yang ditanyakan Tylla kepada SBY pada pertemuan 23 November lalu
itu? Berikut petikan perbincangan Tylla dengan Basfin Siregar dari
Gatra:
“Benarkah Anda menjelek-jelekkan bangsa sendiri?”
“Saya tidak terima dibilang menjelek-jelekkan bangsa! Yang
saya jelek-jelekkan itu pemerintah. Saya membandingkan kebijakan
Pemerintah India dengan SBY. Saya lihat Pemerintah India memberi subsidi
gede banget untuk pendidikan. Adalah salah pemerintah kalau pendidikan
di Indonesia makin nggak terjangkau!”
“Berapa uang kuliah Anda di India?”
“Untuk program S-2 dua tahun, saya cuma
bayar US$ 600, sekitar Rp 6 juta. Itu sudah all-in, sudah admission fee
dan tuition fee. Tinggal mikir biaya hidup, dan biaya hidup di Delhi
sama dengan di Jakarta. Uang US$ 600 itu pun karena saya foreigner yang
bayar lebih mahal. Soalnya, duit saya itu dipakai buat subsidi warga
India asli. Kalau orang India yang kuliah, setahun bayarnya cuma 700
rupee, sekitar Rp 40.000.”
“Bagaimana dibandingkan dengan biaya di Indonesia?”
“Tahun lalu, saya mendaftar program notariat. Untuk semester pertama saja habis Rp 50 juta.”
“Anda kaget ketika SBY marah?”
“Sebenarnya SBY marah bukan karena pertanyaan saya. Melainkan karena waktu SBY ngasih penjelasan, eh, saya malah bisik-bisik ke
teman. Saya bilang, ”Ah, SBY mau ngomong apa, nyatanya
anaknya disekolahin ke luar negeri juga. Berarti dia setuju pendidikan
di luar negeri bagus.”
Reaksi SBY bagaimana?
“SBY sepertinya menganggap saya anak yang
kaget. Baru sekali sekolah di luar negeri, kok, sudah sombong banget.
Soalnya, SBY bilang bahwa dia sudah sembilan kali sekolah di luar
negeri, dan pendidikan di Indonesia nggak jelek. Tapi kenyataannya, di
ranking dunia, pendidikan Indonesia kan nggak masuk?”
“Ketika dibentak, reaksi Anda sendiri bagaimana?”
“Saya senyum aja, terus diem nunduk-nunduk,
manggut-manggut minta maaf. Terus saya perhatikan lagi. Tapi saya bisik
ke teman itu cuma beberapa detik aja kok. Sepanjang sebelumnya saya
juga memperhatikan penjelasan SBY.”
“Seperti apa jawaban SBY waktu menjawab pertanyaan Anda?”
“Ya pokoknya pemerintah sudah bekerja, bahwa pendidikan di Indonesia tidak jelek. Pendidikan di luar negeri ada yang bagus, tapi
ada juga yang lebih jelek dibanding di Indonesia. Begitu. Terus
waktu menjawab soal buku-buku murah, SBY bilang kalau pemerintah juga
sudah menyiapkan content (materi) untuk buku-buku SD, bagaimana agar
bisa kepake untuk sekian generasi. Teknis begitu. Itu kan nggak
nyambung dengan apa yang saya sampaikan.”
“Seperti apa subsidi pendidikan di India?”
Di sini, buku murah luar biasa, bahkan
buku-buku impor karena pemerintah memberi subsidi kertas! Selain itu
pemerintah juga bikin
kerja sama dengan penerbit-penerbit gede kayak Penguin Books
agar buku-buku mereka bisa dicetak di India, jadi bisa dijual lebih
murah. Buku-buku kuliah saya, kalau dikonversi ke rupiah, paling mahal
cuma Rp 10.000. Kalau di Indonesia, saya bisa keluar sampai Rp 2,5
juta untuk beli buku saja. Dan karena subsidi kertas itu, harga
langganan koran juga murah. Saya itu langganan satu koran, satu majalah
berita semacam Gatra, dan satu majalah wanita. Nah, untuk langganan
tiga media itu, sebulannya saya cuma bayar 110 rupee, atau sekitar
Rp 22.000. Selain itu di India, pelajar dapat fasilitas kartu
abonemen yang harganya cuma 50 rupee, atau sekitar Rp 10.000, yang
berlaku selama empat bulan. Dengan kartu pas itu, selama empat bulan
kita bisa gratis naik bis pemerintah jurusan apa aja. Mau
keliling-keliling Delhi juga boleh. Meski bisnya bobrok, tapi nyaman.
Berhentinya juga
cuma di halte. Kartu abonemen itu selain untuk pelajar, juga
dikasih untuk pegawai negeri, tentara, orang jompo dan physically
disabled (orang cacat). Itu untuk transportasi.
“Tidak takut dianggap melebih-lebihkan India?”
“Lho, justru karena saya cinta bangsa Indonesia, saya ingin pemerintah belajar kepada India. Orang Indonesia itu pintar-pintar.
Tapi, soalnya, pemerintah tidak bisa memfasilitasi pendidikan
murah. Para insinyur di India mampu bersaing untuk masuk di
Microsoft. Sedangkan di Indonesia hanya beberapa orang saja yang
beruntung. Maka
tolonglah pemerintah bikin agar pendidikan itu affordable.”
Tapi, pendidikan di Indonesia kan ada juga bagusnya?
“Kalau mau jujur, infrastrukturnya lebih
bagus. Di kampus sudah ada lift, whiteboard, pakai OHP. Kalau di sini
enggak. Naik dari lantai I ke lantai IV masih manual, masih pakai kapur
tulis, terus nggak ada AC. Tapi, kalau kualitas content-nya, kita
kurang.”
“Kalau pengajarnya bagaimana?”
Kalau di India enaknya, dosen-dosen itu
bisa dihubungi kapan saja. Kayak Amartya Sen, peraih nobel, kalau
mahasiswanya minta diskusi private session, masih dilayanin. Nggak
susah. Bahkan presidennya sendiri, Abdul Kalam, dia juga mengajar, dan
masih bisa ditelepon! Saya pernah bareng mahasiswanya makan malam bareng
Abdul Kalam. Saya lihat Abdul Kalam itu dikritik mahasiswanya yang
orang India, ditunjuk-tunjuk gitu, dia nggak marah kok. Masih santai
aja.”
“Setelah pertemuan dengan SBY itu, apakah Anda ditegur, misalnya oleh orang KBRI?”
“Ah, nggak. Orang KBRI itu asyik-asyik.
Yang ribut itu justru pegawai negeri (dari Indonesia) yang tugas belajar
ke India. Mereka
pada marah. Dibilangnya saya itu anak itik yang baru keluar
dari induknya, kaget. Padahal saya kan juga bukan baru pertama kali ke
luar negeri. Sebelumnya saya kan juga sempat ikut summer course
atau homestay gitu. Tapi kan nggak kompatibel kalau membandingkan
Indonesia dengan negara-negara maju. Makanya dibandingin dengan
India.” [Teropong, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 19 Desember 2005]
Artikel yang sangat menarik sekaligus miris, semoga pemerintah semakin memperhatikan dunia pendidikan yang ada di indonesia.
TYLLA Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi
- India, tiba-tiba mencuri perhatian. Pertanyaan Tylla kepada
Presiden Yudhoyono konon membuat SBY marah. “Saat berdialog dengan
masyarakat Indonesia di India, ada warga yang sejak mulai bicara sampai
selesai menjelek-jelekkan negeri kita dan memuji luar negeri.
Saya menyesalkan,” kata SBY di Tanah Air.
Apa yang ditanyakan Tylla kepada SBY pada pertemuan 23 November lalu
itu? Berikut petikan perbincangan Tylla dengan Basfin Siregar dari
Gatra:
“Benarkah Anda menjelek-jelekkan bangsa sendiri?”
“Saya tidak terima dibilang menjelek-jelekkan bangsa! Yang
saya jelek-jelekkan itu pemerintah. Saya membandingkan kebijakan
Pemerintah India dengan SBY. Saya lihat Pemerintah India memberi subsidi
gede banget untuk pendidikan. Adalah salah pemerintah kalau pendidikan
di Indonesia makin nggak terjangkau!”
“Berapa uang kuliah Anda di India?”
“Untuk program S-2 dua tahun, saya cuma
bayar US$ 600, sekitar Rp 6 juta. Itu sudah all-in, sudah admission fee
dan tuition fee. Tinggal mikir biaya hidup, dan biaya hidup di Delhi
sama dengan di Jakarta. Uang US$ 600 itu pun karena saya foreigner yang
bayar lebih mahal. Soalnya, duit saya itu dipakai buat subsidi warga
India asli. Kalau orang India yang kuliah, setahun bayarnya cuma 700
rupee, sekitar Rp 40.000.”
“Bagaimana dibandingkan dengan biaya di Indonesia?”
“Tahun lalu, saya mendaftar program notariat. Untuk semester pertama saja habis Rp 50 juta.”
“Anda kaget ketika SBY marah?”
“Sebenarnya SBY marah bukan karena pertanyaan saya. Melainkan karena waktu SBY ngasih penjelasan, eh, saya malah bisik-bisik ke
teman. Saya bilang, ”Ah, SBY mau ngomong apa, nyatanya
anaknya disekolahin ke luar negeri juga. Berarti dia setuju pendidikan
di luar negeri bagus.”
Reaksi SBY bagaimana?
“SBY sepertinya menganggap saya anak yang
kaget. Baru sekali sekolah di luar negeri, kok, sudah sombong banget.
Soalnya, SBY bilang bahwa dia sudah sembilan kali sekolah di luar
negeri, dan pendidikan di Indonesia nggak jelek. Tapi kenyataannya, di
ranking dunia, pendidikan Indonesia kan nggak masuk?”
“Ketika dibentak, reaksi Anda sendiri bagaimana?”
“Saya senyum aja, terus diem nunduk-nunduk,
manggut-manggut minta maaf. Terus saya perhatikan lagi. Tapi saya bisik
ke teman itu cuma beberapa detik aja kok. Sepanjang sebelumnya saya
juga memperhatikan penjelasan SBY.”
“Seperti apa jawaban SBY waktu menjawab pertanyaan Anda?”
“Ya pokoknya pemerintah sudah bekerja, bahwa pendidikan di Indonesia tidak jelek. Pendidikan di luar negeri ada yang bagus, tapi
ada juga yang lebih jelek dibanding di Indonesia. Begitu. Terus
waktu menjawab soal buku-buku murah, SBY bilang kalau pemerintah juga
sudah menyiapkan content (materi) untuk buku-buku SD, bagaimana agar
bisa kepake untuk sekian generasi. Teknis begitu. Itu kan nggak
nyambung dengan apa yang saya sampaikan.”
“Seperti apa subsidi pendidikan di India?”
Di sini, buku murah luar biasa, bahkan
buku-buku impor karena pemerintah memberi subsidi kertas! Selain itu
pemerintah juga bikin
kerja sama dengan penerbit-penerbit gede kayak Penguin Books
agar buku-buku mereka bisa dicetak di India, jadi bisa dijual lebih
murah. Buku-buku kuliah saya, kalau dikonversi ke rupiah, paling mahal
cuma Rp 10.000. Kalau di Indonesia, saya bisa keluar sampai Rp 2,5
juta untuk beli buku saja. Dan karena subsidi kertas itu, harga
langganan koran juga murah. Saya itu langganan satu koran, satu majalah
berita semacam Gatra, dan satu majalah wanita. Nah, untuk langganan
tiga media itu, sebulannya saya cuma bayar 110 rupee, atau sekitar
Rp 22.000. Selain itu di India, pelajar dapat fasilitas kartu
abonemen yang harganya cuma 50 rupee, atau sekitar Rp 10.000, yang
berlaku selama empat bulan. Dengan kartu pas itu, selama empat bulan
kita bisa gratis naik bis pemerintah jurusan apa aja. Mau
keliling-keliling Delhi juga boleh. Meski bisnya bobrok, tapi nyaman.
Berhentinya juga
cuma di halte. Kartu abonemen itu selain untuk pelajar, juga
dikasih untuk pegawai negeri, tentara, orang jompo dan physically
disabled (orang cacat). Itu untuk transportasi.
“Tidak takut dianggap melebih-lebihkan India?”
“Lho, justru karena saya cinta bangsa Indonesia, saya ingin pemerintah belajar kepada India. Orang Indonesia itu pintar-pintar.
Tapi, soalnya, pemerintah tidak bisa memfasilitasi pendidikan
murah. Para insinyur di India mampu bersaing untuk masuk di
Microsoft. Sedangkan di Indonesia hanya beberapa orang saja yang
beruntung. Maka
tolonglah pemerintah bikin agar pendidikan itu affordable.”
Tapi, pendidikan di Indonesia kan ada juga bagusnya?
“Kalau mau jujur, infrastrukturnya lebih
bagus. Di kampus sudah ada lift, whiteboard, pakai OHP. Kalau di sini
enggak. Naik dari lantai I ke lantai IV masih manual, masih pakai kapur
tulis, terus nggak ada AC. Tapi, kalau kualitas content-nya, kita
kurang.”
“Kalau pengajarnya bagaimana?”
Kalau di India enaknya, dosen-dosen itu
bisa dihubungi kapan saja. Kayak Amartya Sen, peraih nobel, kalau
mahasiswanya minta diskusi private session, masih dilayanin. Nggak
susah. Bahkan presidennya sendiri, Abdul Kalam, dia juga mengajar, dan
masih bisa ditelepon! Saya pernah bareng mahasiswanya makan malam bareng
Abdul Kalam. Saya lihat Abdul Kalam itu dikritik mahasiswanya yang
orang India, ditunjuk-tunjuk gitu, dia nggak marah kok. Masih santai
aja.”
“Setelah pertemuan dengan SBY itu, apakah Anda ditegur, misalnya oleh orang KBRI?”
“Ah, nggak. Orang KBRI itu asyik-asyik.
Yang ribut itu justru pegawai negeri (dari Indonesia) yang tugas belajar
ke India. Mereka
pada marah. Dibilangnya saya itu anak itik yang baru keluar
dari induknya, kaget. Padahal saya kan juga bukan baru pertama kali ke
luar negeri. Sebelumnya saya kan juga sempat ikut summer course
atau homestay gitu. Tapi kan nggak kompatibel kalau membandingkan
Indonesia dengan negara-negara maju. Makanya dibandingin dengan
India.” [Teropong, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 19 Desember 2005]
Artikel yang sangat menarik sekaligus miris, semoga pemerintah semakin memperhatikan dunia pendidikan yang ada di indonesia.
Apa pendapat anda tentang Pendidikan di negara kita?